Saturday, May 7, 2011



" Kecepatan berpikir dalam lapangan akan menyelamatkan diri kita sendiri."
Pada tanggal 3 Mei 2011 merupakan hari dimana Kebebasan Pers Nasional terjadi. Kebebasan pers sangat diperlukan karena menyangkut kehidupan para jurnalis yang sedang meliput. Di dunia yang semakin 'keras' ini, kekerasan pun sering terjadi baik di dalam maupun di luar negeri. Peristiwa yang terjadi akibat kekerasan yaitu pertama kekerasan relevan di dalam negeri contohnya wartawan seringkali dianiaya. Kedua hilangnya jurnalis di Timur Tengah.
Untuk memperingati hari kebebasan pers, saya bersama teman saya dari Galeri Foto Jurnalistik Antara menghadiri diskusi dan pemutaran film documenter dengan tema “ Pentingnya Keselamatan Pers dalam Daerah Konflik “ Acara tersebut berlangsung di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jl. Kalibata Timur IV G No. 10, Kalibata, Jakarta Selatan. Diskusi tersebut dibuka oleh Ketua Aji Jakarta yaitu Bapak Komang. Selanjutnya ada tiga pembicara yang sudah berpengalaman di daerah konflik. Pembicara tersebut yaitu
1.Mas Andi Jatmiko – Assocuate Press Television Network ( beliau pernah meliput di konflik Aceh, Poso, Timor Timur, Gaza)
2. Mas Haris – Redaktur Tempo 2000 ( beliau pernah meliput di konflik Libya)
3. Mas Ari Basuki – Fotografer Newsroom 2002 ( beliau pernah meliput di Aceh, Libya)

Pembicara pertama Mas Haris
Menurut beliau, hal pertama yang perlu dilakukan sebelum meliput selalu melihat peta agar bisa mengetahui daerah-daerah konflik yang sering terjadi. Contohnya saat meliput di Libya pada saat kita di tempat konflik, kita harus bisa memilih diri kita berada di kelompok mana.
Kemudian hal lain yang perlu dilakukan yaitu sebisa mungkin kita memiliki kontak orang disana untuk menjalin pertemanan contohnya yaitu dengan supir taksi yang senantiasa menemani kita dalam suatu perjalanan.
Kita sebagai jurnalis boleh saja nekat tetapi perlu ada batasnya. Nekat dalam arti disini supaya kita bisa dapat berita. Biasanya saat kita meliput, kita tidak pergi sendirian melainkan ikut dengan wartawan lainnya.
Lalu kita juga perlu memahami karakter orang di daerah konflik contohnya di Afganistan ada daerah yang tidak berpendidikan jadi kita harus punya etika dari dalam diri kita.

Pembicara kedua Mas Ari Basuki
Sebagai seorang fotografer kita tidak boleh kehilangan moment dalam sebuah peristiwa. Hal yang paling ditakutkan seorang fotografer dalam menangkap moment yaitu rudal dan penculikan. Mengapa rudal karena kita tidak tahu posisi rudal jatuhnya dimana. Kedua apabila kita diculik, moment yang sudah diliput pun akan sia-sia. Kita harus mengetahui adat istiadat, posisi kita memotret harus kita ketahui. Contohnya kita dilarang memotret tentara yang sedang beristirahat tetapi jika tentara sedang maju kita diperbolehkan memotret. Kita juga tidak boleh memotret kendaraan tentara karena sebagai asset suatu negara. Kemudian kita tidak boleh memotret pemberontak yang mati karena mereka dianggap suci oleh masyarakat setempat.




Pembicara ketiga Mas Andi
Liputan di daerah konflik sama halnya dengan liputan di mana saja yang membedakan itu resikonya yang lebih maut dan menantang. Seringkali kita menganggap liputan di daerah konflik itu berbahaya. Lalu mengapa kita harus tetap liputan? Yang paling penting yaitu kejujuran dalam hati kita sendiri, apakah kita mau meliput dan sadar akan resikonya. Kondisi tersebut sangat cocok untuk jiwa petualang. Sebagai seorang jurnalis, mental merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Karena dimanapun kita berada, kita harus kuat mental dalam peliputan apapun. Persiapan berikutnya yaitu peralatan keselamatan seperti jaket anti peluru, GPS, survival kid, first aid kit dan yang paling penting kita harus tercover dengan asuransi. Persiapan sebaik mungkin, semaksimal mungkin dan terakhir serahkan dengan Yang Maha Kuasa. Jangan sepelekan keselamatan diri sendiri. “ Sebagus apapun liputannya, Keselamatan sangat penting untuk diri kita. “ tutur Andi Jatmiko.

Diskusi mengenai Pentingnya Keselamatan Jurnalis di Daerah Konflik :

1. Representasi jurnalis perempuan sedikit yang meliput di daerah konflik dan apakah multibahasa sangat penting apabila kita meliput di negera lain?
- Jurnalis perempuan itu sama saja tetapi biasanya di daerah konflik jarang dikirim untuk meliput. Tidak ada masalah gender dalam peliputan berita. Gender is not issue. Jurnalis baik pria maupun wanita bisa kemana saja dan mendapatkan perlakuan yang sama. Tapi dalam keadaan tertentu, wanita mendapatkan perlakuan yang lebih. Contohnya di Kota Beirut sering dijuluki kota ‘seksi’ wartawan perempuan akan mudah untuk mendekatkan narasumber tapi tidak di Afganistan kita harus bisa menyesuaikan dengan budaya setempat. Budaya seringkali berhubungan dengan bahasa. Pengetahuan bahasa local akan menjadi create tersendiri supaya liputan kita bisa maksimal dan pikirannya tidak terbebani.
2. Adakah saat jenuh dalam profesi yang kita tekuni?
- Ketika kita merasa jenuh dalam profesi anda, anda akan menjadi SARKASTIK. Contohnya ketika meliput di Timor Timur ada perasaan dendam dan benci saat meliput terhadap introvert diri kita. Lalu kita butuh refreshing kemudian meliput lagi agar hasil beritanya dapat independen, tepat dan tidak ragu-ragu. Ke negara apapun kita harus bisa berangkat sendiri. Masalah butuh orang, kita akan cari di negara yang dituju dengan meng-hyer orang disana.
3. Perlukah jujur pada diri sendiri?
- Dalam liputan apapun kita sebagai seorang jurnalis mau tidak mau kita harus jujur apalagi menyangkut liputan konflik. Jangan pernah meninggalkan opini tetapi harus fakta sesuai kenyataan. Jujur terhadap diri sendiri dan liputan yang dibuat akan menghasilkan berita yang independen, tidak terlibat dan tidak memihak siapapun.



No comments:

Post a Comment