Friday, October 19, 2012

Visualisasi Teater Dokumenter





Dua pemain musik, satu pemain teater dan satu kreator memasuki panggung yang bercahaya minim. Mendengarkan alunan musik yang dipadukan aksi teatrikal membuat penonton tersentak. Degh! Gerakan pemain teater diiringi alunan musik biola dan kecapi membantu mengantarkan kita untuk menikmati pertunjukkan Chika: A Documentary Theater yang dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Chika: A Documentary Performance adalah pementasan yang berlapis-lapis dan melintasi batas: musik asli, tarian, narasi, gambar dokumenter, arsip video dan rekaman wawancara. Karya ini dimulai saat Chika bertemu dengan Mayu, seorang dokumentaris yang membantu menceritakan kisahnya. Cerita mengenai kehidupan manusia yang mengalami kesulitan mengatasi beberapa pengalamannya. Pengalaman tersebut mampu menumbuhkan pemahaman multidimensi dari kondisi manusia dengan sifat reflektif dari gambar diam, kebangkitan musik dan ekspresi fisik.

Chika Honda ialah wanita Jepang berusia 36 tahun bekerja di sebuah pub di utara kota satelit Tokyo, Jepang. Pada satu malam, Mitsuo, pelanggan tetap pub tersebut meminta Chika untuk bergabung dengannya dan saudara-saudaranya dalam kelompok liburan untuk tur ke Australia. Chika pun menerima karena perjalanan tersebut merupakan pertama kalinya Ia ke luar negeri. Tentang Australia, Chika mendengar tentang koala dan kanguru.

Saat perjalanan menuju Melbourne, Chika beserta rombongan singgah di Kuala Lumpur, Malaysia. Seorang pemandu wisata lokal, Charlie yang juga rekan bisnis saudara Mitsuo menjemput rombongan di bandara kemudian membawanya menuju restoran sebelum masuk ke dalam hotel. Saat Chika dan rombongan sedang makan, mobil yang ditumpanginya beserta isi di dalamnya pun dicuri. 

Di Melbourne, polisi menemukan 13kg heroin di lapisan koper mereka. Chika beserta rombongan lainnya ditangkap, diselidiki dan kemudian didakwa diadili dan dihukum. Di Melbourne, banyak peristiwa mengakibatkan permohonan Chika yang tidak bersalah pun tidak didengar, penyidik tidak memadai selama penyelidikan dan pengadilan. Media di Melbourne pun memberikan laporan mengenai “Sindikat Mafia Jepang”.

Kehidupan Chika saat di penjara dimulai tanpa bahasa Inggris. Chika merasa tertekan dan menderita karena panik mengenai kemampuan bahasanya. Saat ingin mengaplikasikan ke Mahkamah Agung pun gagal dan semua jalan hukum lainnya untuk membuktikan bahwa Ia tidak bersalah. Karena keputusasaannya, Chika pun mencoba bunuh diri. Tetapi Tuhan pun telah memberikan waktu lebih banyak untuk hidup dan lebih banyak pelajaran dalam hidup untuk belajar terhadap kehidupan yang dialami Chika.

Akhirnya, Chika belajar bahasa Inggris. Mempelajari bahasa asing membantu Ia untuk terbiasa dengan cara kebudayaan Australia dan membantu percakapan dengan teman-teman di penjara. Suatu hari, seorang petugas penjara memberi Chika kucing yang kemudian diberi nama Ai, nama ibunya yang memiliki arti “cinta” dalam bahasa Jepang.

Setelah menjalani hukuman penuh, Chika dibebaskan dari penjara pada tahun 2002 dan segera dideportasi ke tempat asalnya. Sepuluh setengah tahun di penjara, membuat Chika takut untuk kembali ke rumah untuk menghadapi kehidupan barunya. Namun, selama delapan bulan, Mayu mengunjungi Chika di penjara dan meneliti kisahnya. Mayu selain membuat film dokumenter mengenai Chika, Ia pun membantu Chika untuk kembali ke Jepang bersama kucing kesayangannya, Ai. Sebagai imbalannya, Chika setuju untuk difoto dan didokumentasikan Mayu dalam perjalanan hidup kembalinya Chika ke Jepang.

Namun pentas malam itu bukan sebuah dokumenter biasa. Teater yang ditampilkan seperti tak ada sangkut pautnya. Dalam proses, Chika dan pertunjukkan yang disajikan terasa kompak. Ada kalanya musik pelan, bahkan berhenti, berganti oleh film dokumenter mengenai Chika, membangun suasana yang memberi nyawa untuk melihat kembali kisah Chika.


No comments:

Post a Comment